Rabu, 29 Mei 2013

KEHENDAK TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALIRAN ILMU KALAM



Ulama muslim tidak sama pemahamannya terhadap iradah tuhan (kemauan atau kehendak tuhan). Apakah kehendak tuhan itu mutlak [1], atau apakah pada diri manusia itu terdapat daya atau tidak, maka yang pertama memberi jawaban terhadap persoalan ini adalah aliran Jabariah dan Qadariah. Dalam sejarah teologi islam, paham Al-Qadariah dianut oleh Mu’tazilah, sedangkan paham Al-Jabariah dianut oleh aliran Asy’ariah (Harun, 1986 : 32).
A.  Aliran Jabariah
Aliran Jabariah terbagi menjadi dua, yakni Jabariah Al-Khalisah dan Jabariah Al-Mutawitah. Paham Jabariah Al-Khalisah atau ekstrim ini adalah paham yang dibawa oleh Jalad Ibn Dirham dan disebarluaskan oleh Jahm Ibn Sofwan, seorang juru tulis dari seorang pemimpin yang bernama Suraih Ibn Harits.
Paham yang diajarkan oleh Jhm Ibn sofwan sebagai ajaran Jabariah adalah bahwa sesungguhnya manusia itu tidak mempunyai daya , tidak mempunyai kehendak  sendiri dantidak mempunyai ikhtiar, manusia dalam perbuatan-perbuatannya ialah dipaksa dengan yidak ada kekuasaan kemauan dan pilihan baginya. Sesungguhnya Allahlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan yang ada dalam diri manusia, seperti gerak yang diciptakan Allah dalam seluruh benda-benda mati. Manusia dikatakan berbuat bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi seperti pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam, langit cerah dan mendung serta hujan dan sebagainya. Segala perbuatan manusia adalah perbuatan yang dipaksakan atas dirinya termasuk menerima mengerjakan kewajiban (Al-Syahrani, tt : 8, Ahmad Amin, 1975 : 286)[2].
Bagi Jabariah Al-Jahmiah, hanya allah sajalah yang dapat menentukan dan memutuskan atas segala apa yang diperbuat oleh manusia, dimana semua pekerjaan manusia itu adalah dengan qudrat dan iradah Allah[3]. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia itu sendiri. Pada hakikatnya, segala perbuatan dan gerak-gerik manusia adalah merupakan paksaan. Hidup dan kehidupan manusia adalah sekenario dari Tuhan dan manusia hanyalah sekeping wayang yang menunggu kemana ia digerakkan. Sedankan menurut pandangan Jabariah yang kedua yaitu Jabariah Al-Mutawasit atau moderat yang dibawa oleh tokoh yang bernama Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najar dan Dirar Ibn Amr. Menurut Jabariah golongan ini,Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan hamba, baik perbuatan baik atau perbuatan jahat, perbuatan terpuji atau tercela, tetapi manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan manusia itu. Dan inilah yang dinamakan dengan konsep “Kasb” (Al-Syahratani, tt 89). Dari paham tersebut dapat dikatakan bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan Allah dan manusia juga punya bagian dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia tersebut.
B.  Aliran Qadariah
Istilah Al-Qadariah adalah bentukan dari kata “qadara” yang berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sebagai aliran dalam teologi islam, Qadariah adalah sebutan yang dipakai untik suatu aliran yang memberi penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatannya[4]. Aliran Qadariah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendak sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, dia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukan dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat. Semua itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir tuhan[5].
       Pada dasarnya inti ajaran paham Qadariah terletak pada kebebasan dan kekuasan manusia atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendirilah yang melakukan atau menjauhi perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri ( Al-Ghurobi, 1958 : 33). Dengan jelas paham ini sangat menekankan posisi manusia yang sangat menentukan perbuatannya. Manusia dinilaimempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendak itu. Dalammenentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan tanpa ada ikut campur tangan tuhan. Sesungguhnya manusia itu bebas berbuat, manusia mempunyai kekuatan atas perbuatannya (Ahmad Amin, 1975 : 284)[6].
C.  Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pendapat antara Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara[7]. Maturidiah Samarkand yang dipelopori oleh Abu Mansur Al-Mturidi cenderung kepada paham Free Will dan agak rasionol jika dibandingkan dengan Mturidi Bukhara yang diwakili oleh Al-Bazdawi yang lebih dekat kepada pemikiran Asy’ari yang berpaham Jabariah. Maturudi dengan tokohnya Al-Maturidi cenderung mendukung Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa mutlak dalam menentukan perbuatan manusia. Namun kebebasan manusia yang dimaksud bukan seperti kebebasan yang di definisikan paham Qadariah. Kebebasan menurut Al- Maturidi lebih sempit dibandingkan pemahaman mu’tazilah yang notabene berpaham Qadariah (Harun, 1986 : 114).
Menurut Al-Maturidi kehendak bukanlah kehendak bebas manusia, tetapi kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan bukanlah perbuatan Tuhan tetapi perbuatan manusia yang sebenarnya. Tuhan menciptakan perbuatan baik dan jahat, Tuhan memberi kelapangan dan kesempitan, Tuhan menunjukkan jalan yang sesat juga memberi petunjuk kepada hamba-Nya (Abu Mansur, tt : 228). Untuk itu, Tuhan memberikan daya kepada manusia agar manusia mampu menerobos kehendak Tuhan. Diciptakannya daya untuk memilih dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Memilih dan membedakan inilah perbuatan manusia yang sebenarnya, sehingga pemberian hukuman dan balasan tergsntung kepada penggunaan daya yang diciptakan-Nya, karena Tuhn telah berjanji untuk meminta pertanggung jawaban manusia atas perbuata baik dan perbuatan jahatnya.
Aliran Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah atau ganjaran dan pemberian hukuman[8].
Adapun Maturidi bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari mengenai paham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, bagaimana dijelaskan oleh Al-Badawi, tuhan pasti menepati janji-Nya,seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baij, walaupun mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang berdosa besar[9].
Maturidiah Bukhara yang ditokohi Al-Badawi memiliki pemahaman bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Bahkan Al-Badawi lebih memprioritaskan kemutlakan Tuhan. Dalam hal ini dikatakan du perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan, manusia menggunakan perbuatan yang diciptakan tersebut adalah perbuatan manusia (Badzawi, 1963 :45). Menurutnya perbuatan tersebut adalah perbuatan manusia yang bersifat majazi, artinya perbuatan manusia tersebut tetap dibayangi oleh kehendak Tuhan, karena tuhan telah menetapkan aturan dan acuan bagi perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh, Tuhan menciptakan perbuatan berjalan, melaksanakan perbuatan brerjalan tersebut adalah perbuatan manusia. Jadi segala perbuartan manusia merupakan wujud atas kehendak Tuhan, baik ituu perbuatan baik atau jahat. Namun perbuatan baik digolongkan kepada perbuatan yang diridhoi Tuhan, sementara perbuatan jahat bukan atas dasar keridfhoan Tuhan, jika manusia melakukan berarti menentang keridhoan Tuhan.
Dengan menentang keridhoan  Tuhan berarti manusia tersebut wajar menerima hukuman dari Tuhan atas tidak keridhoan-Nya kendatipun yang menciptakan perbuatn jahat tersebut adalah Tuhan, tetapi Yuhan tidak ridho dengan wujud kejahatan tersebut (Bazdawi, 1963 : 42). Oleh sebab itu Tuhan berhak menyiksanya, dan disinilah letak kekusaan dan kemaha-besaran Tuhan. Jadi secara konsepsional aliran maturidiah berkonsep bahwa kemampuan manusia menggunakan daya merupakan kehendak manusia, menciptakan daya perbuatan Tuhan. Jika Tuhan menghendaki seseorang untuk kufur, tetapi manusia tersebut berkufur maka tuhan akan menyiksanya[10].
Menyimak pemikiran diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia dibekali dengan akal dan pikiran disamping itu manusia juga dibekali dengan nafsu hal inilah yang membedakannya dengan makluk lainnya. Dengan Akal dan pikiran, manusia bisa membedakan antara baik dan jelek, sehingga manusia yang akalnya sehat pasti akan melakukan perbuatan baik, tetapi kalau terkalahkan oleh nafsunya, maka ia akan melakukan perbuatan jelek. Tetapi hal itu tidak terlepas dari kehendak tuhan.






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mu’in, Taib tahir. 1997. Ilmu Kalam. Widjaya:Jakarta.
Hanafi Ma. 1996. Theologi Islam. Bulan Bintang:Jakarta.
Mufid Fathul. 2009. Ilmu Tauhid / Kalam. STAIN Kudus: Kudus.
M. Yunan Yusuf. 1990. Alam Pikiran Islam. Perkasa:Jakarta.
Nasution. 1974. Teologi Islam. UI press:Jakarta.


[1] Hanafi Ma. 1996. Theologi Islam. Bulan Bintang:Jakarta. Halaman 141.
[2] Mufid Fathul. 2009. Ilmu Tauhid / Kalam. STAIN Kudus: Kudus. Halaman  97-99.
[3] Abdul Mu’in, Taib tahir. 1997. Ilmu Kalam. Widjaya:Jakarta. Halaman 240.
[4] Mufid Fathul. Op. Cit. Halaman  99-100.
[5] M. Yunan Yusuf. 1990. Alam Pikiran Islam. Perkasa:Jakarta. Halaman  25.
[6] Mufid Fathul. Op. Cit. Halaman 101.
[7] M. Yunan Yusuf. Op. Cit. Halaman  133.
[8] Nasution. 1974. Teologi Islam. UI press:Jakarta. Halaman 128-129.
[9] Ibid, halaman 128, 132,133.
[10] Mufid Fathul. 2009. Ilmu Tauhid / Kalam. STAIN Kudus: Kudus. Halaman 150-151.

1 komentar:

  1. artikel yang menarik..jangan lupa mampir di blog saya ya...http://armanyuni.blogspot.com/

    BalasHapus