Rabu, 29 Mei 2013

KEHENDAK TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALIRAN ILMU KALAM



Ulama muslim tidak sama pemahamannya terhadap iradah tuhan (kemauan atau kehendak tuhan). Apakah kehendak tuhan itu mutlak [1], atau apakah pada diri manusia itu terdapat daya atau tidak, maka yang pertama memberi jawaban terhadap persoalan ini adalah aliran Jabariah dan Qadariah. Dalam sejarah teologi islam, paham Al-Qadariah dianut oleh Mu’tazilah, sedangkan paham Al-Jabariah dianut oleh aliran Asy’ariah (Harun, 1986 : 32).
A.  Aliran Jabariah
Aliran Jabariah terbagi menjadi dua, yakni Jabariah Al-Khalisah dan Jabariah Al-Mutawitah. Paham Jabariah Al-Khalisah atau ekstrim ini adalah paham yang dibawa oleh Jalad Ibn Dirham dan disebarluaskan oleh Jahm Ibn Sofwan, seorang juru tulis dari seorang pemimpin yang bernama Suraih Ibn Harits.
Paham yang diajarkan oleh Jhm Ibn sofwan sebagai ajaran Jabariah adalah bahwa sesungguhnya manusia itu tidak mempunyai daya , tidak mempunyai kehendak  sendiri dantidak mempunyai ikhtiar, manusia dalam perbuatan-perbuatannya ialah dipaksa dengan yidak ada kekuasaan kemauan dan pilihan baginya. Sesungguhnya Allahlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan yang ada dalam diri manusia, seperti gerak yang diciptakan Allah dalam seluruh benda-benda mati. Manusia dikatakan berbuat bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi seperti pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam, langit cerah dan mendung serta hujan dan sebagainya. Segala perbuatan manusia adalah perbuatan yang dipaksakan atas dirinya termasuk menerima mengerjakan kewajiban (Al-Syahrani, tt : 8, Ahmad Amin, 1975 : 286)[2].
Bagi Jabariah Al-Jahmiah, hanya allah sajalah yang dapat menentukan dan memutuskan atas segala apa yang diperbuat oleh manusia, dimana semua pekerjaan manusia itu adalah dengan qudrat dan iradah Allah[3]. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia itu sendiri. Pada hakikatnya, segala perbuatan dan gerak-gerik manusia adalah merupakan paksaan. Hidup dan kehidupan manusia adalah sekenario dari Tuhan dan manusia hanyalah sekeping wayang yang menunggu kemana ia digerakkan. Sedankan menurut pandangan Jabariah yang kedua yaitu Jabariah Al-Mutawasit atau moderat yang dibawa oleh tokoh yang bernama Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najar dan Dirar Ibn Amr. Menurut Jabariah golongan ini,Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan hamba, baik perbuatan baik atau perbuatan jahat, perbuatan terpuji atau tercela, tetapi manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan manusia itu. Dan inilah yang dinamakan dengan konsep “Kasb” (Al-Syahratani, tt 89). Dari paham tersebut dapat dikatakan bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan Allah dan manusia juga punya bagian dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia tersebut.
B.  Aliran Qadariah
Istilah Al-Qadariah adalah bentukan dari kata “qadara” yang berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sebagai aliran dalam teologi islam, Qadariah adalah sebutan yang dipakai untik suatu aliran yang memberi penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatannya[4]. Aliran Qadariah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendak sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, dia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukan dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat. Semua itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir tuhan[5].
       Pada dasarnya inti ajaran paham Qadariah terletak pada kebebasan dan kekuasan manusia atas perbuatan-perbuatannya, manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendirilah yang melakukan atau menjauhi perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri ( Al-Ghurobi, 1958 : 33). Dengan jelas paham ini sangat menekankan posisi manusia yang sangat menentukan perbuatannya. Manusia dinilaimempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendak itu. Dalammenentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah yang menentukan tanpa ada ikut campur tangan tuhan. Sesungguhnya manusia itu bebas berbuat, manusia mempunyai kekuatan atas perbuatannya (Ahmad Amin, 1975 : 284)[6].
C.  Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pendapat antara Maturidiah Samarkand dan Maturidiah Bukhara[7]. Maturidiah Samarkand yang dipelopori oleh Abu Mansur Al-Mturidi cenderung kepada paham Free Will dan agak rasionol jika dibandingkan dengan Mturidi Bukhara yang diwakili oleh Al-Bazdawi yang lebih dekat kepada pemikiran Asy’ari yang berpaham Jabariah. Maturudi dengan tokohnya Al-Maturidi cenderung mendukung Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa mutlak dalam menentukan perbuatan manusia. Namun kebebasan manusia yang dimaksud bukan seperti kebebasan yang di definisikan paham Qadariah. Kebebasan menurut Al- Maturidi lebih sempit dibandingkan pemahaman mu’tazilah yang notabene berpaham Qadariah (Harun, 1986 : 114).
Menurut Al-Maturidi kehendak bukanlah kehendak bebas manusia, tetapi kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan bukanlah perbuatan Tuhan tetapi perbuatan manusia yang sebenarnya. Tuhan menciptakan perbuatan baik dan jahat, Tuhan memberi kelapangan dan kesempitan, Tuhan menunjukkan jalan yang sesat juga memberi petunjuk kepada hamba-Nya (Abu Mansur, tt : 228). Untuk itu, Tuhan memberikan daya kepada manusia agar manusia mampu menerobos kehendak Tuhan. Diciptakannya daya untuk memilih dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Memilih dan membedakan inilah perbuatan manusia yang sebenarnya, sehingga pemberian hukuman dan balasan tergsntung kepada penggunaan daya yang diciptakan-Nya, karena Tuhn telah berjanji untuk meminta pertanggung jawaban manusia atas perbuata baik dan perbuatan jahatnya.
Aliran Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah atau ganjaran dan pemberian hukuman[8].
Adapun Maturidi bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari mengenai paham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, bagaimana dijelaskan oleh Al-Badawi, tuhan pasti menepati janji-Nya,seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baij, walaupun mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang berdosa besar[9].
Maturidiah Bukhara yang ditokohi Al-Badawi memiliki pemahaman bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Bahkan Al-Badawi lebih memprioritaskan kemutlakan Tuhan. Dalam hal ini dikatakan du perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Tuhan menciptakan perbuatan, manusia menggunakan perbuatan yang diciptakan tersebut adalah perbuatan manusia (Badzawi, 1963 :45). Menurutnya perbuatan tersebut adalah perbuatan manusia yang bersifat majazi, artinya perbuatan manusia tersebut tetap dibayangi oleh kehendak Tuhan, karena tuhan telah menetapkan aturan dan acuan bagi perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh, Tuhan menciptakan perbuatan berjalan, melaksanakan perbuatan brerjalan tersebut adalah perbuatan manusia. Jadi segala perbuartan manusia merupakan wujud atas kehendak Tuhan, baik ituu perbuatan baik atau jahat. Namun perbuatan baik digolongkan kepada perbuatan yang diridhoi Tuhan, sementara perbuatan jahat bukan atas dasar keridfhoan Tuhan, jika manusia melakukan berarti menentang keridhoan Tuhan.
Dengan menentang keridhoan  Tuhan berarti manusia tersebut wajar menerima hukuman dari Tuhan atas tidak keridhoan-Nya kendatipun yang menciptakan perbuatn jahat tersebut adalah Tuhan, tetapi Yuhan tidak ridho dengan wujud kejahatan tersebut (Bazdawi, 1963 : 42). Oleh sebab itu Tuhan berhak menyiksanya, dan disinilah letak kekusaan dan kemaha-besaran Tuhan. Jadi secara konsepsional aliran maturidiah berkonsep bahwa kemampuan manusia menggunakan daya merupakan kehendak manusia, menciptakan daya perbuatan Tuhan. Jika Tuhan menghendaki seseorang untuk kufur, tetapi manusia tersebut berkufur maka tuhan akan menyiksanya[10].
Menyimak pemikiran diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia dibekali dengan akal dan pikiran disamping itu manusia juga dibekali dengan nafsu hal inilah yang membedakannya dengan makluk lainnya. Dengan Akal dan pikiran, manusia bisa membedakan antara baik dan jelek, sehingga manusia yang akalnya sehat pasti akan melakukan perbuatan baik, tetapi kalau terkalahkan oleh nafsunya, maka ia akan melakukan perbuatan jelek. Tetapi hal itu tidak terlepas dari kehendak tuhan.






DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mu’in, Taib tahir. 1997. Ilmu Kalam. Widjaya:Jakarta.
Hanafi Ma. 1996. Theologi Islam. Bulan Bintang:Jakarta.
Mufid Fathul. 2009. Ilmu Tauhid / Kalam. STAIN Kudus: Kudus.
M. Yunan Yusuf. 1990. Alam Pikiran Islam. Perkasa:Jakarta.
Nasution. 1974. Teologi Islam. UI press:Jakarta.


[1] Hanafi Ma. 1996. Theologi Islam. Bulan Bintang:Jakarta. Halaman 141.
[2] Mufid Fathul. 2009. Ilmu Tauhid / Kalam. STAIN Kudus: Kudus. Halaman  97-99.
[3] Abdul Mu’in, Taib tahir. 1997. Ilmu Kalam. Widjaya:Jakarta. Halaman 240.
[4] Mufid Fathul. Op. Cit. Halaman  99-100.
[5] M. Yunan Yusuf. 1990. Alam Pikiran Islam. Perkasa:Jakarta. Halaman  25.
[6] Mufid Fathul. Op. Cit. Halaman 101.
[7] M. Yunan Yusuf. Op. Cit. Halaman  133.
[8] Nasution. 1974. Teologi Islam. UI press:Jakarta. Halaman 128-129.
[9] Ibid, halaman 128, 132,133.
[10] Mufid Fathul. 2009. Ilmu Tauhid / Kalam. STAIN Kudus: Kudus. Halaman 150-151.

makalah fiqih puasa



BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Puasa merupakan  amalan-amalan ibadah yang tidak hanya oleh umat sekarang tetapi juga dijalankan pada masa umat-umat terdahulu.bagi orang yang beriman ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa, pelipatgandaan pahala kebaikan,dan pengangkatan derajat. Allah telah menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya diantara amal-amal ibadah lainnya. Puasa difungsikan sebagai benteng yang kukuh yang dapat menjaga manusia dari bujuk rayu setan. Dengan puasa syahwat yang bersemayam dalam diri manusia akan terkekang sehingga manusia tidak lagi menjadi budak nafsu tetapi manusia akan menjadi majikannya.
Allah memerintahkan puasa bukan tanpa sebab. Karena segala sesuatu yang diciptakan tidaka ada yang sia-sia dan segala sesuatu yang diperintahkan-Nya pasti demi kebaikan hambanya. Kalau kita mengamati lebih lanjut ibadah puasa mempunyai manfaat yang sangat besar karena puasa tidak hanya bermanfaat dari segi rohani tetapi juga dalam segi lahiri. Barang siapa yang melakukannya dengan ikhlas dan sesuai dengan aturan maka akan diberi ganjaran yang besar oleh allah.
Puasa mempunyai pengaruh menyeluruh baik secara individu maupun masyarakat dalam hadits telah disebutkan hal-hal yang terkait dengan puasa seperti halnya mengenai kesehatan, dan lain sebagainya. Dalam menjalankan puasa secara tidak langsung telah diajarkan perilaku-perilaku yang baik seperti halnya sabar, bisa mengendalikan diri dan mempunyai tingkah laku yang baik.

B. RUMUSAN MASALAH
  1. Apa hakikat puasa?
  2. Apa hal-hal yang membatalkan puasa?
  3. Apa hari-hari yang dilarang puasa?
  4. Siapa orang yang mendapatkan keringanan untuk tidak puasa?
  5. Apa hikmah puasa?



BAB II
PEMBAHASAN
1. Hakikat Puasa
A.   Pengertian puasa
Puasa menurut bahasa berarti menahan atau mencegah. Sedangkan menurut syara’ adalah suatu amal-amal ibadah yang dilaksanakan dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenam mtahari disertai niat kareena allah dengan syarat dan rukun tertentu[1].
B.   Syarat wajib dan sah puasa
1.                Syarat wajib puasa
a.    Islam
Orang kafir tidak berkewajiban berpuasa, karena puasa adalah suatu ibadah sedangkan orang kafir bukanlah ahli ibadah, karenanya tidak berkewajiban berpuasa. Kalau orang kafir berpuasa maka puasanya tidak sah[2].
b.    Berakal
Orang gila tidak wajib berpuasa
c.    Baligh
Orang yang sudah berusia 15 tahun (qamariah) atau telah ada tanda-tanda baligh yang lain, seperti keluar mani bagi laki-laki, atau keluar darah haid bagi perempuan yang berumur sekurang-kurangnya sembilan tahun (qamariah). Maka anak-anak tidak wajib berpuasa.
d.   Mampu berpuasa
Orang yang lemah karena terlalu tua atau sakit yang dapat membawa madarat pada dirinya dengan sebab berpuasa, maka tidak diwajibkan berpuasa baginya.
2.      Syarat sah puasa
a.    Islam

b.    Mumayyiz
Mumayyiz adalah orang yang sudah tahu membedakan antara suci dan kotornya sesuatu; mengetahui cara,syarat dan sahnya suatu ibadah. Termasuk juga dalam hal ini tahu menilai sesuatu itu bernilai atau tidak.
c.    Suci dari haid dan nifas
Perempuan yang sedang haid ataun nifas tidak sah berpuasa. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk mengganti jumlah puasa yang ditinggalkannya pada bulan yang lain.
d.   Dalam waktu yang dibolehkan berpuasa[3].
C.   Rukun puasa
1)        Niat
Niat itu bersunber dari dalam lubuk hati orang yang akan berpuasa. Sebab itu, niat yang hanya diucapkan secara lisan tidak dianggap sebagai niat.
Batas waktu dari niat puasa para ulama fiqih berbeda pendapat. Imam Malik dan Al-Laits bin Saad berpendapat bahwa niat hendaklah dilakukan pada malam hari hingga terbit fajar, baik untuk puasa fardhu ataupun puasa sunnah.
menurut pendapat Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, waktu niat puasa fardhu adalah pada sebagian malam. Sementara itu niat puasa sunnah boleh dilakukan pada waktu malam hari atau siang hari.
Menurut pendapat Imam Hanafi, waktu niat untuk puasa sunnah dan puasa fardhu yang ditentukan waktunya boleh pada sebagian malam dan siang, yaitu sebelum tergelincir matahari. Sedangkan untuk puasa yang tidak ditentukan waktunya, niatnya adalah sebelum terbit fajar.
Oleh karena itu jelaslah bahwa sebaik-baiknya niat dilakukan pada waktu malam hari ini salah satu cara untuk mencegah kelupaan yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah cukup seseorang itu berniat satu malam saja? Atau apakah niat itu wajib dilakukan setiap malam?
Menurut pendapat pengikut mazhab Maliki dan Ishak, niat pada satu malam saja itu daianggap sah, sehingga niat untuk malam-malam berikutnya tidak wajib, namun disunnahkan untuk dilakukan.
Menrut pendapat ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i, serta jumhur ulama adalah wajib hukumnya berniat pada setiap malam[4].
2)    Meninggalakan sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari[5].
2.  Hal-hal yang membatalkan puasa
A. Hal-hal yang membatalkan puasa dan hanya diwajibkan qadha :
1)      Muntah dengan sengaja
Muntah dengan sengaja itu dapat membatalkan puasa, walaupun tidak ada yang kembali kedalam perut. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwasanya nabi Muhammad saw bersabda: “barang siapa yang tidak sengaja muntah maka tidak diwajibkan mengqadha puasanya, dan barang siapa muntah dengan sengaja maka harus mengqadha puasanya”[6].
2)      Mengeluarkan sperma bukan melalui persetubuhan
Mengeluarkan sperma bukan melalui persetbuhan dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar sperma karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluarnya tanpa disengaja[7].
Menurut pendapat imam maliki dan imam ahmad, seandainya seseorang itu memandang istrinya berulang kali, atau memikirkan sesuatu yang dapat mengakibatkan keluarnya sperma, maka batallah puasanya. Sedangkan pengikut mazhab syafii dan hanafi berpendapat hal itu tidak membatalkan puasa. Namun, jika sudah menjadi kebiasaan bagi seseorang bila melakukan perbuatan tersebut  keluar spermanya maka batallah puasanya. Karena dia menurut pengikut kedua mazhab ini dianggap melakukan perbuatan itu dengan sengaja sebagaimana orang yang mengeluarkan spermanya dengan melakukan perbuatan yang tidak lazim.
Adapun mengenai keluarkan mazi, tidak membatalkan puasa. Karena mazi sama dengan air kencing.
Namun demikian ada orang yang nafsu seksnya demikian besar, sehingga ia sulit menuasai diri apabila melihat atau menyentuh perempuan. Kondisi ini dianggap sebagai keganjilan (keluar dari hukum umum).
Menurut ulama fiqih,kecuali ulama mazhab maliki,orang seperti itu tidak batal puasanya,sekalipun keluar sperma.begitu juga halnya dengan keadaan seseorang yang pikirannya senantiasa terarah kepada perempuan.tetapi kalu dia meneruskan hayalannya terhadap perempuan sehingga keluar sperma,maka batal puasanya[8].

3)       Ragu
Seseorang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena mengira diperbolehkan,maka batal puasanya,menurut pendapat imam yang empat dan sebagian ulama fiqih,orang itu wajib mengqodha puasanya keadaan itu terjadi karena hal-hal berikut:
a. batal puasa orang yang sahur karena ia mengira hari masih malam,padahal fajar sudah terbit.
b. batal puasa orang yang berbuka karena ia mengira hari matahari sudah terbenam,padahal belum.
Bagi orang yang ragu apakah matahari sudah terbit atau belumia boleh sahur sehingga yakin bahwa matahari sudah terbit.dan orang yang ragu apakah matahari sudah terbenam apa belum,tidak boleh berbuka sampai ia yakin bahwa matahari sudah terbenam.
4)      meneruskan makan,setelah makan karena lupa
Batal puasa orang yang makan atau minum dalam keadaan terlupa,karena mengira perbuatan itu membatalkan puasa,lantas dia meneruskan makan dan minum dengan sengaja.ulama mazhab hanafi,syafi’I dan ahmad menganggap orang tersebut wajib mengqodha puasanya.
5)      haid dan nifas
Batal puasa perempuan yang sedang haid atau nifas dan ia di wajibkan mengqodha puasa.
6)      murtad
Menurut ijma ulama,batal puasa siapa saja yang murtad atau keluar agama islam dia wajib mengqadha puasanya apabila kembali masuk islam.
7)      berubah niat
Niat puasa hendaklah dilakukan secara konsisten,sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari seandainya seseorang itu berniat membatalkan puasanya,kemudian memantapkan niatnya itu,maka batal puasanya dan wajib qadha[9].
B. Wajib qadha dan kafarat
1.bersetubuh dengan sengaja
Barang siapa yang melakukan persetubuhan pada siang hari pada bulan Ramadhan sedangkan dia berpuasa dilakukan baik dari depan atau belakang.apakah keluar sperma atau tidak,maka wajib atasnya qadha dan membayar kafarat.
Menurut pendapat imam syafi’i,kafarat dikenakan atas orang yang menyetubuhi saja,sedangkan orang yang di setubuhi tidak di kenakan kafarat.
Ulama mazhab hanafi berpendapat kafarat juga diwajibkan kepada si istri seandainya persetubuhan itu dilakukan atas ke inginannya.seandainya ia di paksa,dia tidak diwajibkan kafarat.pendapat ini sama dengan pendapat  pengikut mazhab maliki.
Ulama mazhab hambali berpendapat wajib atas si istri membayar kafarat seandainya persetubuhan tersebut dilakukan dengan keinginannya.seandainya si istri di paksa melakukan persetubuhan,sebagian ulama mewajibkannya membayar kafarat.sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa si istri tidak wajib kafarat. Ia hanya wajib qadha ini merupakan kata sepakat sebagian besar ulama.demikian juga halnya jika si istri sedang nyenyak tidur lalu di setubuhi oleh suaminya,maka wajib si istri mengqadha puasanya dan tidak wajib kafarat[10].
3.    Hari-hari yang dilarang puasa
A. diantara Hari-hari yang dilarang puasa adlah sebagai berikut:
a. hari raya idul fitri dan idul adha
hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oeh imam bukhori dan muslim, disebutkan bahwa: “sesumgguhnya nabi muhammad saw melarang berpuasa di dua hari, hari raya idul fitri dan idul adha”.
b. hari tasyrik
yaitu tiga hari pada tanggal 11,12,13 dzul hijjah. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oeh imam muslim, dari nubaisyah al-hudzaili ra, ia berkata bahwa nabi muhammad saw bersabda: “hari taysrik itu adalah hari makan, minum dan menyebutkan nama allah SWT”[11].
c. puaswa dahr
puasa dahr adalahpuasa sepanjang tahun. Puasa ini dilarang oleh syara' karena diantaranya bersamaan waktunya dengan hari-hari yang diharamkan berpuasa, seperti hari raya idul fitri, idul adha, serta hari tasyrik[12].
4.    orang yang mendapatkan keringanan untuk tidak puasa
A.       diantara  orang yang mendapatkan keringanan untuk tidak puasa adalah:
a)    sakit
orang yang sakit dan tidak mampu berpuasa, atau takut bertambah parah sakitnya, atau lambat sembuh bila berpuasa, baik karena anggapannya sendiri ataupun nasihat seorang dokter, menurut ijma ulama dibolehkan tidak berpuasa[13].
b)   musafir
boleh bagi musafir yang berpuasa pada bulan ramadhan berbuka,seandainya musafir itu dalam jarak dibolehkan mengqasar shalat[14].
c)    perempuan yang mengandung dan menyusui anak
bagi perempuan yang mengandung dan menyusui anak, dan terpaksa berbuka karena kawatir makan keselamatan kanduungan dan bayinya, diwajibkan baginya mengqadha puasa dan membayar fidyah satu mud sehari.seandainyakhawatir akan keselamatan diri dan kandungan atau anaknya, mak hanya diwajibkan megqadha tidak diwjibkan membayar fidyah[15].
d)   orang yang sudah tua
orang yang usianya tua sudah lemah sehingga tidak mampu lagi untuk berpuasa, atu lemah bukan disebabkan usia tua tetapi karena pembawaannya. Orang ini boleh tidak puasa dan bagginya wajib membayar fidyah. Pembayaran fidyah ini dengan cara memberikan sedekah kepada fakir miskin untuk ukuran indonesia diperkirakan ¾ liter beras setiap hari[16].
e)    keadaan terpaksa
seseorang yang diancam atau dipaksa akan dibunuh atau dipoting anggota badannya seandainya ia berpuasa. Lalu dia berbuka karena takut, mak diharuskn baginya ber buka dan wajib atasnya mengqadha puasa yang ditinggalkannya itu.
f)    takut cacat akal
seseorang yang takut cacat (melemah) aklnya karena terlalu lapar dan dahaga, dibolehkan baginya berbuka[17].
 5.  HIKMAH PUASA
A.  Hikmah puasa secara kejiwaan adalah membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan , mengajari dan membantu menguasai diri, serta mewujudkan dalam membentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri, yang ini merupakan hikmah puasa yang paling utama.
B.  Hikmah puasa secara social adalah membiasakan umat berlaku disiplin, bersatu, cinta keadilan dan persamaan, juga melahirkan perasaan kasih sayang dalam diri orang-orang beriman dan mendorong mereka berbuat kebajikan sebagaimana ia juga menjaga masyarakat dari kejahatan dan kerusakan.
C.  Hikmah puasa dari segi kesehatan adalah membersihkan usus-usus, memperbaiki kerja pencernaan, membersihkan tubuh dari sisa-sisa dan endapan makanan, mengurangi kegemukan dan kelebihan lemak di perut.
D.  Mematahkan nafsu. Karena berlebihan, baik dalam makan dan minum serta menggauli istri, bisa mendorong nafsu berbuat kejahatan dan enggan mensyukuri nikmat serta mengakibatkan kelengahan.
E.   Mengosongkan hati untuk berzikir dfan berfikir. Sebaliknya, jika berbagai nafsu sahwat di turuti maka ia bisa mmenguraskan dan membutakan hati, selanjutnya menghalangi hati untuk berzikir dan berfikir, sehingga membuatnya lengah. Berbeda hanya dengan perut yangkosong dari makanan dan minuman, ia menyebabkan hati bercahaya dan lunak kekerasan hati akan menjadi sirna kemudian semata-mata akan dimanfaatkan untuk berzikir dan berfikir.
F.   Orang kaya akan menjadi tau seberapa nikmat allah atas cirinya. Allah mengarunianinya nikmat tak terhingga, pada saat yang sama banyak orang-orang miskin yang tidak mendapat makanan dan minuman. Dengan terhalangnya dia dari menikmati hal-hal tersebut pada saat tertentu, srta rasa berat yang dihadapi karenanya, itu akan mengigatkan dia kepada orang-orang yang sama sekali tidak dapat menikmatinya. Ini akan mengharuskan dia mensyuuri nikmat allah atas dirinya berupa serba kecukupan, juga akan menjadikannya berbelas kasihan kepada saudaranya yang memerlukan, dan mendorongnya untuk membantu mereka.
G.  Mempersempit jalan aliran darah yang merupakan jalan setan pada diri anak adam. Karena setan masuk kepada anak adam melalui jalan aliran darah, dengan berpuasa maka dia aman dari gangguan setan, serta kekuatan nafsu syahwat dan marah akan menjadi lumpuh. Karena itu nabi muhammad saw menjadikan puasa sebagai benteng untuk menghalangi nafsu syahwat nikah sehingga beliau memerintahkan orang-orang yang belum mampu menikah dengan berpuasa[18].














BAB III
PENUTUP

A. kesimpulan
Puasa adalah suatu amal-amal ibadah yang dilaksanakan dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenam mtahari disertai niat kareena allah dengan syarat dan rukun tertentu.
            Puasa haruslah dilakukan pada selain hari-hari yang telah diharamkan dan dalam menjalankannyapun harus menghindari hal-hal yang dapat membatalkan puasa.diantaranya muntah dengan sengaja,ragu, berubah niat, danlain sebagainya.
       Puasa mengandung banyak hikmah baik dalam segi kejiwaan seperti membiasakan sabar dan berprilaku baik. Dalam segi social seperti sikap saling tolong menolong.dalam segi kesehatan seperti, membersihkan usus. Maupun dalam segi rohani yaitu selalu berdzikir kepada allah.






DAFTAR PUSTAKA

Abdulah bin Jarullah bin Ibrahim al- Jarullah.1997. Risalah Ramadhan. Yayasan Al-Sofwa: Jakarta
Ayub Hassan muhammad.2004. Puasadan I’tikaf dalam Islam. Bumi Aksara: Jakarta.
Labib Mz. 2007. Problematika Puasa, Zakat, Haji Dan Umrah. Putra Jaya: Surabaya




[1] Labib Mz.2007. Problematika Puasa, Zakat, Haji Dan Umrah. Putra Jaya: Surabaya. Hlm 8.
[2] Ibid, hlm 12.

[3]Ayub Hassan muhammad. 2004.Puasadan I’tikaf Dalam Islam.Bumi Aksara: Jakarta. Hlm 2-4.

[4]Ibid, hlm 27-29.
[5] Labib Mz.2007. Problematika Puasa, Zakat, Haji Dan Umrah. Putra Jaya: Surabaya. Hlm 13.
[6] Labib Mz. Op.cit. hlm 16
[7] Abdulah bin Jarullah bin Ibrahim al- Jarullah.1997. Risalah Ramadhan. Yayasan al-Sofwa: Jakarta. Hlm 25

[8] Ayub Hassan  Muhammad. op.cit. hlm71-72

[9] Ibid. hlm 74-77
[10] Ibid. hlm 79-80
[11]Labib Mz. 2007. Problematika Puasa, Zakat, Haji Dan Umrah.Putra Jaya: Surabaya. Hlm 19-20
[12]Ayub Hassan Muhammad. 2004. Puasadan i’tikaf dalam islam. Bumi Aksara: Jakarta. Hlm 39.
[13]  Ibid, hlm 84.
[14]  Ibid, hlm 86.
[15]  Ibid, hlm 89.
[16] Labib Mz.2007. Problematika Puasa, Zakat, Haji Dan Umrah.Putra Jaya: Surabaya. Hlm 25.
[17]Ayub Hassan Muhammad. op.cit. hlm 91.
[18] Abdulah bin Jarullah bin Ibrahim al- Jarullah.1997. Risalah Ramadhan. Yayasan Al-Sofwa: Jakarta. Hlm 74-76.