Ulama muslim tidak sama pemahamannya terhadap iradah tuhan (kemauan
atau kehendak tuhan). Apakah kehendak tuhan itu mutlak [1],
atau apakah pada diri manusia itu terdapat daya atau tidak, maka yang pertama
memberi jawaban terhadap persoalan ini adalah aliran Jabariah dan Qadariah.
Dalam sejarah teologi islam, paham Al-Qadariah dianut oleh Mu’tazilah,
sedangkan paham Al-Jabariah dianut oleh aliran Asy’ariah (Harun, 1986 : 32).
A.
Aliran Jabariah
Aliran
Jabariah terbagi menjadi dua, yakni Jabariah Al-Khalisah dan Jabariah
Al-Mutawitah. Paham Jabariah Al-Khalisah atau ekstrim ini adalah paham yang
dibawa oleh Jalad Ibn Dirham dan disebarluaskan oleh Jahm Ibn Sofwan, seorang
juru tulis dari seorang pemimpin yang bernama Suraih Ibn Harits.
Paham
yang diajarkan oleh Jhm Ibn sofwan sebagai ajaran Jabariah adalah bahwa
sesungguhnya manusia itu tidak mempunyai daya , tidak mempunyai kehendak sendiri dantidak mempunyai ikhtiar, manusia
dalam perbuatan-perbuatannya ialah dipaksa dengan yidak ada kekuasaan kemauan
dan pilihan baginya. Sesungguhnya Allahlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan
yang ada dalam diri manusia, seperti gerak yang diciptakan Allah dalam seluruh
benda-benda mati. Manusia dikatakan berbuat bukan dalam arti sebenarnya, tetapi
dalam arti majazi seperti pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari
terbit dan tenggelam, langit cerah dan mendung serta hujan dan sebagainya.
Segala perbuatan manusia adalah perbuatan yang dipaksakan atas dirinya termasuk
menerima mengerjakan kewajiban (Al-Syahrani, tt : 8, Ahmad Amin, 1975 : 286)[2].
Bagi
Jabariah Al-Jahmiah, hanya allah sajalah yang dapat menentukan dan memutuskan
atas segala apa yang diperbuat oleh manusia, dimana semua pekerjaan manusia itu
adalah dengan qudrat dan iradah Allah[3].
Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia itu sendiri. Pada
hakikatnya, segala perbuatan dan gerak-gerik manusia adalah merupakan paksaan.
Hidup dan kehidupan manusia adalah sekenario dari Tuhan dan manusia hanyalah
sekeping wayang yang menunggu kemana ia digerakkan. Sedankan menurut pandangan
Jabariah yang kedua yaitu Jabariah Al-Mutawasit atau moderat yang dibawa oleh
tokoh yang bernama Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najar dan Dirar Ibn Amr. Menurut
Jabariah golongan ini,Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan hamba, baik
perbuatan baik atau perbuatan jahat, perbuatan terpuji atau tercela, tetapi
manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatan manusia itu. Dan inilah
yang dinamakan dengan konsep “Kasb” (Al-Syahratani, tt 89). Dari paham tersebut
dapat dikatakan bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan Allah dan
manusia juga punya bagian dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia
tersebut.
B.
Aliran Qadariah
Istilah
Al-Qadariah adalah bentukan dari kata “qadara” yang berarti memutuskan dan
memiliki kekuatan atau kemampuan. Sebagai aliran dalam teologi islam, Qadariah
adalah sebutan yang dipakai untik suatu aliran yang memberi penekanan terhadap
kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatannya[4].
Aliran Qadariah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatannya atas kehendak sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena
itu, dia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukan dan juga berhak
pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini,
bila seorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan
diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat. Semua itu
berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir tuhan[5].
Pada dasarnya inti ajaran paham Qadariah
terletak pada kebebasan dan kekuasan manusia atas perbuatan-perbuatannya,
manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan
kekuasaannya sendiri dan manusia sendirilah yang melakukan atau menjauhi
perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri ( Al-Ghurobi, 1958 : 33).
Dengan jelas paham ini sangat menekankan posisi manusia yang sangat menentukan
perbuatannya. Manusia dinilaimempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendak
itu. Dalammenentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah
yang menentukan tanpa ada ikut campur tangan tuhan. Sesungguhnya manusia itu
bebas berbuat, manusia mempunyai kekuatan atas perbuatannya (Ahmad Amin, 1975 :
284)[6].
C.
Aliran
Maturidiyah
Mengenai
perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pendapat antara Maturidiah Samarkand
dan Maturidiah Bukhara[7].
Maturidiah Samarkand yang dipelopori oleh Abu Mansur Al-Mturidi cenderung
kepada paham Free Will dan agak rasionol jika dibandingkan dengan Mturidi
Bukhara yang diwakili oleh Al-Bazdawi yang lebih dekat kepada pemikiran Asy’ari
yang berpaham Jabariah. Maturudi dengan tokohnya Al-Maturidi cenderung
mendukung Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa mutlak dalam
menentukan perbuatan manusia. Namun kebebasan manusia yang dimaksud bukan
seperti kebebasan yang di definisikan paham Qadariah. Kebebasan menurut Al-
Maturidi lebih sempit dibandingkan pemahaman mu’tazilah yang notabene berpaham
Qadariah (Harun, 1986 : 114).
Menurut
Al-Maturidi kehendak bukanlah kehendak bebas manusia, tetapi kehendak Tuhan,
sedangkan perbuatan bukanlah perbuatan Tuhan tetapi perbuatan manusia yang
sebenarnya. Tuhan menciptakan perbuatan baik dan jahat, Tuhan memberi
kelapangan dan kesempitan, Tuhan menunjukkan jalan yang sesat juga memberi
petunjuk kepada hamba-Nya (Abu Mansur, tt : 228). Untuk itu, Tuhan memberikan
daya kepada manusia agar manusia mampu menerobos kehendak Tuhan. Diciptakannya
daya untuk memilih dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Memilih
dan membedakan inilah perbuatan manusia yang sebenarnya, sehingga pemberian
hukuman dan balasan tergsntung kepada penggunaan daya yang diciptakan-Nya,
karena Tuhn telah berjanji untuk meminta pertanggung jawaban manusia atas
perbuata baik dan perbuatan jahatnya.
Aliran
Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga
mereka menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sekurang kurangnya
kewajiban menepati janji tentang pemberian upah atau ganjaran dan pemberian
hukuman[8].
Adapun
Maturidi bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ari mengenai paham
bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, bagaimana dijelaskan oleh
Al-Badawi, tuhan pasti menepati janji-Nya,seperti memberi upah kepada orang
yang berbuat baij, walaupun mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang berdosa
besar[9].
Maturidiah
Bukhara yang ditokohi Al-Badawi memiliki pemahaman bahwa perbuatan manusia
adalah ciptaan Tuhan. Bahkan Al-Badawi lebih memprioritaskan kemutlakan Tuhan.
Dalam hal ini dikatakan du perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.
Tuhan menciptakan perbuatan, manusia menggunakan perbuatan yang diciptakan
tersebut adalah perbuatan manusia (Badzawi, 1963 :45). Menurutnya perbuatan
tersebut adalah perbuatan manusia yang bersifat majazi, artinya perbuatan
manusia tersebut tetap dibayangi oleh kehendak Tuhan, karena tuhan telah
menetapkan aturan dan acuan bagi perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh, Tuhan
menciptakan perbuatan berjalan, melaksanakan perbuatan brerjalan tersebut
adalah perbuatan manusia. Jadi segala perbuartan manusia merupakan wujud atas
kehendak Tuhan, baik ituu perbuatan baik atau jahat. Namun perbuatan baik
digolongkan kepada perbuatan yang diridhoi Tuhan, sementara perbuatan jahat
bukan atas dasar keridfhoan Tuhan, jika manusia melakukan berarti menentang
keridhoan Tuhan.
Dengan
menentang keridhoan Tuhan berarti
manusia tersebut wajar menerima hukuman dari Tuhan atas tidak keridhoan-Nya
kendatipun yang menciptakan perbuatn jahat tersebut adalah Tuhan, tetapi Yuhan
tidak ridho dengan wujud kejahatan tersebut (Bazdawi, 1963 : 42). Oleh sebab
itu Tuhan berhak menyiksanya, dan disinilah letak kekusaan dan kemaha-besaran
Tuhan. Jadi secara konsepsional aliran maturidiah berkonsep bahwa kemampuan
manusia menggunakan daya merupakan kehendak manusia, menciptakan daya perbuatan
Tuhan. Jika Tuhan menghendaki seseorang untuk kufur, tetapi manusia tersebut
berkufur maka tuhan akan menyiksanya[10].
Menyimak
pemikiran diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling
sempurna yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia dibekali dengan akal dan pikiran
disamping itu manusia juga dibekali dengan nafsu hal inilah yang membedakannya
dengan makluk lainnya. Dengan Akal dan pikiran, manusia bisa membedakan antara
baik dan jelek, sehingga manusia yang akalnya sehat pasti akan melakukan
perbuatan baik, tetapi kalau terkalahkan oleh nafsunya, maka ia akan melakukan
perbuatan jelek. Tetapi hal itu tidak terlepas dari kehendak tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu’in, Taib tahir. 1997. Ilmu Kalam. Widjaya:Jakarta.
Hanafi Ma. 1996. Theologi Islam. Bulan Bintang:Jakarta.
Mufid Fathul. 2009. Ilmu Tauhid / Kalam. STAIN Kudus: Kudus.
M. Yunan Yusuf. 1990. Alam Pikiran Islam. Perkasa:Jakarta.
Nasution. 1974. Teologi Islam. UI press:Jakarta.
[1] Hanafi Ma.
1996. Theologi Islam. Bulan Bintang:Jakarta. Halaman 141.
[2] Mufid Fathul.
2009. Ilmu Tauhid / Kalam. STAIN Kudus: Kudus. Halaman 97-99.
[3] Abdul Mu’in,
Taib tahir. 1997. Ilmu Kalam. Widjaya:Jakarta. Halaman 240.
[4] Mufid Fathul.
Op. Cit. Halaman 99-100.
[5] M. Yunan
Yusuf. 1990. Alam Pikiran Islam. Perkasa:Jakarta. Halaman 25.
[6] Mufid Fathul. Op.
Cit. Halaman 101.
[7] M. Yunan
Yusuf. Op. Cit. Halaman 133.
[8] Nasution.
1974. Teologi Islam. UI press:Jakarta. Halaman 128-129.
[9] Ibid, halaman
128, 132,133.
[10] Mufid Fathul.
2009. Ilmu Tauhid / Kalam. STAIN Kudus: Kudus. Halaman 150-151.